Perlu Ada Paradigma Hukum Baru Untuk Penguatan Perlindungan Masyarakat Adat

Sedekah Laut, tradisi turun-temurun masyarakat nelayan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa di Cilacap. Jawa Tengah
-
Date:
25 Mar 2025 -
Author:
KEHATI
Perlu Ada Paradigma Hukum Baru Untuk Penguatan Perlindungan Masyarakat Adat
Sebagai hasil perjuangan panjang masyarakat adat, RUU perlindungan masyarakat adat telah masuk prioritas prolegnas tahun 2025. Pada tahun ini diharapkan benar-benar terjadi penguatan perlindungan masyarakat adat. Salah satu cara untuk mewujudkan harapan itu adalah melalui pengesahan undang-undang.
Hal tersebut menjadi tema pembicaraan dalam forum “Diskusi Nilai dan Praktik Hukum Adat Untuk Penyelamatan Ekosistem dan Kedaulatan Pangan”, yang diadakan Senin 17 Maret 2025. Forum diskusi ini diselenggarakan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Yayasan KEHATI.
KEHATI sangat mendukung perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat. Masyarakat adat punya berbagai kearifan lokal bukan hanya untuk menjaga ekosistemnya tapi juga memastikan ketahanan pangan di wilayahnya.
“Salah satu program Yayasan KEHATI yang terkait erat dengan masyarakat adat adalah yang disebut bioprospecting. Bioprospecting adalah program yang bukan hanya terkait pangan tapi juga lebih dalam lagi menyangkut pemanfaatan senyawa-senyawa generik yang ada dalam biodiversitas milik bangsa Indonesia,” kata Direktur Program KEHATI, Rony Megawanto, dalam sambutannya.
Menurut Rony, yang lebih dulu menemukan obat-obatan itu sejatinya bukanlah saintis tapi masyarakat adat, bukan hanya di Indonesia tapi juga banyak negara di seluruh dunia.
Banyak keanekaragaman hayati yang ada di hutan dimanfaatkan oleh masyarakat adat untuk pengobatan tradisional. Tanaman obat-obatan tradisional yang sudah terbukti itulah yang kemudian oleh saintis diteliti kandungan senyawa aktifnya.
KEHATI banyak berhubungan dengan masyarakat adat, terutama yang di pesisir. Di Raja Ampat, misalnya, KEHATI mendukung penetapan zona yang pemanfataannya ditentukan sendiri oleh masyarakat adat setempat.
Masyarakat adat lebih paham tentang kedaulatan pangan sambil menjaga keseimbangan ekosistem.
“Jadi jangan sampai kita-kita ini sok tahu, merasa lebih tahu. Mereka lebih paham kedaulatan pangan dan menjaga ekosistem, tugas kitalah mempromosikan itu,” Rony menjelaskan.
Contoh lain, lanjut Rony, adalah masyarakat adat Boti di kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, yang mampu menjaga kedaulatan pangannya. Padahal mereka berada di kabupaten yang dikenal tingkat stuntingnya terburuk di Indonesia.
CEO IOJI, Mas Achmad Santosa atau akrab disapa Otta, dalam paparannya mengatakan paradigma hukum baru dibutuhkan karena kegiatan manusia sudah berdampak global terhadap ekosistem bumi. Dampak tersebut menyeluruh, berupa perubahan populasi, konsumsi, produksi material, hingga degradasi lingkungan.
“Ulah manusia telah merusak sistem alam dalam skala global yang mengancam flora, fauna, dan ekosistem secara keseluruhan,” kata Otta.
Planetary Boundaries
Manusia menjadi penentu nasib mereka sendiri dalam mengelola planet ini. Berbagai gejala telah memunculkan perlunya etika lingkungan baru untuk mencegah berbagai bencana berskala global.
Para ilmuwan telah mengidentifikasi menggunakan model planetary boundaries. Model ini menggambarkan batasan seberapa besar maksimalnya kegiatan manusia dapat memengaruhi ekosistem bumi. Batasan ini didasarkan pada bukti ilmiah bahwa manusia merupakan penyebab utama perubahan lingkungan global.
Jika kegiatan manusia melebihi batasan ini maka ekosistem bumi akan terdampak melalui sembilan aspek yaitu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan siklus nitrogen dan fosfor, alih fungsi lahan, polusi kimia, perubahan air tawar, partikel aerosol di atmosfir, penipisan lapisan ozon, dan pengasaman laut.
Saat ini ada enam dari sembilan aspek tersebut yang batasannya telah terlampaui yaitu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan siklus nitrogen dan fosfor, alih fungsi lahan, polusi kimia, perubahan air tawar. Ada satu aspek yang krisisnya sudah mendekati titik kritis yaitu pengasaman laut. Kondisinya saat ini sudah membahayakan beberapa organisme laut.
Semua tekanan ekologis itu memerlukan paradigma hukum dan tata kelola baru. Hukum harus mampu merespon krisis ekologis secara efektif dengan mengedepankan perlindungan planet secara utuh.
“Hal ini mensyaratkan reformasi hukum yang lebih adaptif yang tidak hanya fokus pada kepentingan manusia tapi juga alam,” papar Otta.
Hukum saat ini masih menempatkan manusia sebagai pusat dan subyek utama dari sistem hukum tersebut (human center). Hukum masih hanya mengatur kepentingan manusia, memperlakukan semua sistem kehidupan lainnya (flora dan fauna) sebagai obyek yang eksistensinya hanya untuk melayani kepentingan manusia tanpa mengakui hak instrik mereka.
Alam selain manusia direduksi menjadi obyek yang semata ada untuk memenuhi kebutuhan subyek manusianya.
“Dalam kerangka berpikir ini dibutuhkan sistem hukum yang menggunakan cara pandang tentang hubungan manusia dengan alam,” sambung Otta.
Butuh Pemberdayaan

Memancing Mentawai.Penduduk adat etnis pulau-pulau di Muara Siberut juga dikenal sebagai masyarakat Mentawai. Sumatera Barat, Pulau Siberut, Indonesia.
Terkait dengan diperlukannya paradigma hukum dan tata kelola baru tersebut di atas, Agustin Teras Narang, dalam kapasitasnya sebagai anggota DPD RI, menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat sudah ada sejak 2008 dan banyak penolakannya dari pihak internal maupun eksternal.
“Dari pihak internal tidak perlu saya jabarkan lagi di sini, sedangkan dari eksternal masih banyak negara-negara yang mengharapkan sumber daya alam kita,” papar Teras Narang.
Selanjutnya Teras Narang menyampaikan bahwa bagaimanapun masyarakat hukum adat sesuai UUD 1945 harus ada perlindungan. Masyarakat hukum adat tidak hanya butuh perlindungan tapi juga pemberdayaan.
“Pertanyaannya apakah kondisi perpolitikan kita mau untuk, minimalnya, meminimalisir hal-hal yang mengganggu proses pembangunan yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam,” kata Teras Narang.
Selanjutnya Teras Narang menyampaikan bahwa ketika menjabat Gubernur Kalimantan Tengah dua periode (2005-2015), dirinya memilik program yang disebutnya Green Government Policy yang artinya kebijakan pemerintah berdasarkan kepedulian terhadap lingkungan.
“Program (Green Government Policy) itu saya deklarasikan tahun 2007. Selain itu saya juga mempersiapkan perda mengenai perlindungan lembaga adat,” ungkapnya lagi
Lembaga adat perlu perlindungan karena membangun bangsa, menurut Teras, kenapa tidak dimulai dari daerah. Membangun daerah dimulai dari desa. Membangun desa dimulai dari masyarakat. Masyarakat itu yang dimaksud tak lain adalah masyarakat adat.
Tapi membangun dari daerah itu tidaklah mudah karena terbentur dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dari seluruh kawasan Kalimantan Tenghah, 82 persennya berupa berupa hutan, 28 persen non-hutan.
“Kalau mau menggunakan hutan ada dua kemungkinan. Pertama adalah dengan ijin pinjam pakai, dan kedua dengan pembebasan lahan. Kalau untuk perkebunan maka pembebasan lahan, kalau untuk pertambangan maka dengan ijin pinjam pakai,” kata Teras Narang.
Tapi keputusan mengenai pembebasan lahan maupun ijin pinjam pakai adalah wewenang Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bukan pemerintah daerah.
“Karena yang berhak melepas kawasan itu KLHK. Kami hanya sebatas memberikan rekomendasi,” kata Teras.
Maka tidak ada lagi yang di lapangan diharapkan sungguh-sungguh mampu melindungi lingkungan selain masyarakat adat.
Persoalan lain yang masih perlu tindak lanjut, menurut Teras, adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, maupun desa belum dikerjakan dengan baik sehingga belum ada satu peta yang bisa dibuat secara benar sesuai kondisi sesunguhnya untuk digunakan bersama.
“Jadi peta wilayah yang digunakan oleh KLHK sebagai pedoman kerja bisa beda dengan peta di Badan Pertanahan, atau Pertanian, atau Pertambangan, atau masyarakat adat itu sendiri,” papar Teras.
Teras berharap bagaimanapun UU Masyarakat Hukum Adat harus ada. Badan legislasi di tahun 2025 ini telah memberikan prioritas untuk terciptanya UU tersebut. Untuk itu perlu dukungan dari masyarakat yang mempunyai kepedulian, sebab ini bukan kepentingan kelompok tapi kepentingan bangsa dan negara ke depan.