292 views ADA LIMA KUNCI PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA - KEHATI KEHATI

ADA LIMA KUNCI PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA

  • Date:
    18 Mar 2025
  • Author:
    KEHATI

JAKARTA—Masyarakat adat dapat menjadi kunci dalam perlindungan ekologi serta penguatan kedaulatan pangan lokal. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan penguatan perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat yang hingga saat ini di Indonesia masih lemah.

Ada lima langkah kunci yang dibutuhkan bagi perlindungan masyarakat adat di Indonesia, yaitu (1) melakukan pengesahan RUU Masyarakat Adat; (2) mencabut dan membatalkan ketentuan -ketentuan pada peraturan perundang-undangan dan membatalkan kebijakan yang mengancam hak-hak masyarakat adat; (3) memperkuat kelembagaan di pemerintahan untuk perlindungan hak-hak masyarakat adat; (4) penguatan ketentuan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dalam amandemen UUD 1945; dan (5) memperkuat jaringan masyarakat adat di tingkat nasional, regional, dan global.

Demikian disampaikan Stephanie Juwana, Direktur Program Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) saat mempresentasikan hasil temuan riset yang dilakukan IOJI bersama Yayasan KEHATI dalam acara diskusi publik tentang “Nilai dan Praktik Hukum Adat untuk Penyelamatan Ekosistem dan Kedaulatan Pangan” di Ocean Justice House Jakarta, Kamis (17/03/2025). Diskusi ini mengangkat peran masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan, berbagi pengalaman terkait praktik konservasi berbasis adat, serta membangun komitmen politik legislatif guna mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat.

Dalam sambutannya, Mas Achmad Santosa, CEO IOJI, menegaskan adanya kebutuhan sistem hukum yang menggunakan cara pandang tentang hubungan manusia dengan alam (human-nature relations) dan mampu mengubah pendekatan human-dominant kepada pendekatan yang inklusif untuk all living beings. Setidaknya terdapat lima prinsip yang perlu dijadikan sebagai prinsip-prinsip hukum untuk mengatasi tantangan krisis bumi di era antroposen: ecological integrity, ecological limits, strong sustainability, ecological primacy, dan ecological justice. prinsip-prinsip yang perlu tertanam (embedded) dalam law in the Anthropocene (LIA) sudah hidup, berkembang dan dipraktekkan dalam masyarakat adat Indonesia dan negara-negara lainnya.

Sebagai pembicara utama, Agustin Teras Narang, Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI, memaparkan arah kebijakan negara dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat adat. Dalam paparannya, ia menekankan kebutuhan bagi masyarakat adat tidak hanya pengakuan dan penghormatan, tetapi juga perlindungan dan pemberdayaannya. “Bagaimanapun juga masyarakat adat harus ada undang-undangnya, karena itu merupakan perintah dari Konstitusi dan saat ini kondisi masyarakat adat memerlukan kepastian. Pasal 18B dan 28I dari UUD NRI 1945 telah memberikan kita landasan untuk adanya pengakuan bagi masyarakat adat” tegas Teras Narang.

Selanjutnya, Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan KEHATI, membahas bagaimana perlindungan masyarakat adat dapat menjadi strategi penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional di Indonesia. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap lingkungan, masyarakat adat telah lama menerapkan praktik-praktik berkelanjutan yang dapat menjadi referensi bagi kebijakan ketahanan pangan.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), turut serta dalam diskusi dengan menegaskan bahwa dalam rangka menjaga bumi yang lebih baik, maka penjaga dan ilmunya juga harus dilindungi, yaitu masyarakat adat dan pengetahuannya. “UU Masyarakat Adat dapat menjadi jembatan emas antara negara dan masyarakat adat untuk bersama-sama membangun Republik Indonesia, karena jika tidak akibatnya adalah banyak program dan strategi pemerintah yang justru masuk dan merampas wilayah adat” ujar Rukka Sombolinggi.

Sementara itu, Rikardo Simarmata, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, memaparkan bagaimana pengakuan subjek dan wilayah adat dalam RUU Masyarakat Adat dapat menjadi solusi konkret dalam mengatasi tantangan bagi masyarakat adat saat ini. Disampaikan bahwa dalam konteks penguatan perlindungan hak-hak masyarakat adat, perlu diluruskan mengenai isu personalitas hukumnya. Hal ini penting salah satunya untuk memastikan lahirnya property rights atau hak-hak keperdataan, sehingga membantu pencapaian tujuan penguatan tenurial masyarakat adat yaitu perlindungan atau konservasi alam.

Dalam diskusi yang lebih mendalam, Nora Hidayati, Manajer Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa, mengangkat isu jaminan hak atas tanah dan akses wilayah kelola ruang sebagai bentuk perlindungan hak perempuan adat di Indonesia. Secara umum, perempuan adat mengemban tiga peran utama, antara lain sebagai penjaga pengetahuan atas kedaulatan pangan dan energi, pemegang otoritas atas keberlangsungan kehidupan dan sumber-sumber penghidupan, serta pengampu wilayah kelola untuk memastikan keberlangsungan hidup masyarakat adat. Atas peran tersebut, diperlukan pengakuan hak kolektif dari perempuan adat sebagai bentuk akses dalam pemanfaatan, pengelolaan, perawatan, pengembangan, pertukaran, dan keberlanjutan antargenerasi atas tanah dan sumber daya alam yang ada di wilayah adat.

Sebagai penanggap, Renata Puji Sumedi Hanggarawati, Manajer Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, berbagi wawasan mengenai praktik-praktik masyarakat adat yang mendukung ketahanan pangan. Ia menekankan bahwa masyarakat adat berperan besar dalam merawat keanekaragaman hayati dan kedaulatan pangan. Salah satu upaya penting yang perlu dilakukan untuk menguatkan peran masyarakat adat terhadap kedaulatan pangan adalah penataan ruang hidup, yang di dalamnya termasuk ruang produksi pangan, khususnya untuk masyarakat adat mengelola sistem pangan. Upaya ini sejalan dengan transformasi sistem pangan menuju sistem pangan berkelanjutan yang juga memperhatikan aspek keadilan.

Selain itu, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti dinamika dan tantangan dalam proses pembahasan RUU Masyarakat Adat. Hingga saat ini masih banyak sekali potensi konflik yang terjadi, terutama terkait dengan tumpang tindih pemanfaatan dan pengelolaan wilayah. Padahal akibat dari konflik tersebut tidak hanya berdampak bagi masyarakat adat, tetapi juga menimbulkan kerugian bagi negara. Nadia menekankan pentingnya edukasi publik untuk meningkatkan pengawalan kebijakan yang berdampak pada masyarakat adat.

Sebagai penutup, diskusi menekankan bahwa penguatan perlindungan hak-hak masyarakat adat perlu dilakukan melalui pengesahan RUU Masyarakat Adat. Pengesahan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan melalui proses pembahasan yang inklusif dan transparan.
Narahubung:
Stephanie Juwana (Direktur Program) stephaniej@oceanjusticeinitiative.org
+6285882339689